Trotoart: Sang Legenda Telah Kembali
Oleh Theoresia Rumthe
Pukul delapan malam lewat sedikit, pembawa acara, seorang lelaki muda mengajak kerumunan yang telah memadati pekarangan depan gedung Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Maluku untuk merapat ke panggung karena sebentar lagi acara akan dimulai. Di latar belakang panggung berdiri tegak tiga panji berwarna merah terang dengan lambang Trotoart dalam lingkaran. Lampu-lampu berwarna biru dan putih yang membuat malam terasa lebih menyala dan perangkat bunyi yang diatur maksimal tampak berbeda jauh dengan helatan Trotoart volume sebelumnya. Namun, panggung jalanan itu telah kembali.
Saya tidak mengikuti helatan Trotoart dari volume satu, tetapi seingat saya, dua atau tiga kali saya pernah terlibat membaca puisi di sana. Satu panggung jalanan yang menarik karena satu hal: Kesenian dapat dirayakan di jalan dengan merdeka. Pascakonflik di Maluku, anak-anak muda mencari satu bahasa baru yang dapat mereka pahami. Satu pintu baru yang dapat dimasuki oleh berbagai kalangan, tanpa perlu bertanya agamamu apa, dan pintu itu adalah Trotoart. Ketika menyaksikan panggung Trotoart waktu itu saya merasa punya harapan bahwa kota Ambon akan berarak semakin pulih dan kesenian di kota ini akan semakin subur. Saya percaya seni adalah jalan paling waras dan bahasa yang paling mudah dimengerti.
Sekitar tahun 2012, Ambon Bergerak mengumpulkan komunitas-komunitas kreatif di kota Ambon untuk membuat sebuah acara komunitas bertajuk Ambon Fest. Setiap komunitas diberi tugas untuk menggelar semacam pra-acara, Ambon Band Community lalu membuat Trotoart. Ide awal Trotoart berasal dari Victor Latupeirissa dan Jandri Welson Pattinama (Willie). Sebelumnya di tahun 2011, mereka pernah membuat acara yang mirip, yakni: Ambon Band Community Rame-Rame. Acara itu dilakukan secara swadaya, yang kala itu terdiri dari sebelas band, dan masing-masing band patungan seratus ribu rupiah untuk menyewa perangkat bunyi.
Trotoart kemudian dilanjutkan dengan memakai semangat yang sama, hanya saja tempatnya dipindahkan ke trotoar depan Ambon Plaza karena tempat itu dianggap sebagai pusat keramaian. Trotoart volume berikutnya menjadi lebih luas dari sekadar panggung musik. Seniman-seniman lain seperti pelukis, penyair, dan pegiat teater juga bisa ikut serta. Kawan-kawan seperti Pierre Ajawaila, Burhanudin Borut, Almascatie, Yuli Toisuta, Weslly Johannes, Frans ‘Hayaka’ Nendissa, Christian Tomahua, dan banyak lagi. Saya tidak dapat sebutkan satu per satu. Semua sangat aktif membantu.” Willie meriwayatkan asal muasal Trotoart.
Dengan semangat saling mendukung, panggung Trotoart berlangsung hingga volume empat belas. Semangat swadaya untuk terus menghadirkan panggung di pinggir jalan kota Ambon memang bukan perkara yang gampang, tetapi entah mengapa Trotoart selalu menemukan jalan. Kawan-kawan penampil di panggung selalu menghibur dengan lagu-lagu yang mereka bawakan, tetapi juga spontanitas. Penampilan yang diberikan tidak selalu penuh dengan persiapan yang maksimal, kadang dari atas panggung sesama musisi dapat saling mengajak. Semangat spontanitas itulah yang selalu menjadi ruang yang luas bagi siapa saja untuk berkolaborasi.
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan, yaitu: penonoton Trotoart. Semenjak digelar di trotoar depan Ambon Plaza, penonton yang datang pun sangat beragam. Mulai dari kawan-kawan komunitas, mama-mama yang berjualan di pasar malam, tukang ojek, abang becak, sopir angkot, hingga anak-anak kecil yang sering bermain di pasar. Semua berdiri rapat tanpa sekat. Trotoart membuka tangan selebar-lebarnya untuk merangkul siapa saja tanpa memandang status sosial, agama, maupun usia. Siapa saja dapat tenggelam dan merayakan kesenian.
Pada periode itu, semua orang memang bergerak dengan kesadaran menjadikan kota Ambon lebih baik. Kesadaran yang tadinya hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, akhirnya menjadi kesadaran kolektif untuk menggapai satu tujuan bersama. Panggung Trotoart lalu berubah menjadi semacam ritual untuk berkumpul dan berbakti, berhimpun di satu lingkaran untuk merayakan seni. Seni yang tadinya dipandang sebagai sesuatu yang kecil dan biasa-biasa saja, kemudian mendapat perhatian penuh. Musik yang dimainkan, walau awalnya bersifat spontan, mampu mengeluarkan keadaan manusia yang apa adanya saja, yang penuh kesalahan dan mampu menerima dirinya. Keadaan apa adanya ini yang mampu menghubungkan dan membuat penonton juga tidak berlaku sempurna terhadap dirinya dan mampu menertawakan hal-hal yang kecil. Panggung Trotoart berubah menjadi katakanlah dunia untuk menyembuhkan diri melalui jalan berkumpul dan merayakan manusia dengan keterbatasannya. Ia menjadi panggung gratis yang selalu dirindukan, sebab ketika hadir di sana, penonton dapat sejenak melepaskan dirinya dari segala beban yang dialami di kehidupan mereka masing-masing. Panggung jalanan yang tadinya berupa aktivitas hiburan, lambat laun berubah menjadi ruang baru untuk mencari dan menemukan makna.
Setelah Trotoart volume empat belas digelar di tahun 2017, waktu berjalan terus dan semua orang-orang berlayar menuju kehidupan yang lebih personal. Ada yang bekerja ke luar kota, ada yang mendapat jabatan di kantornya sehingga menuntut tanggung jawab lebih, ada yang menikah, maka panggung Trotoart pun vakum semenjak itu. Namun, apa yang membuat banyak orang ragu akan kembalinya Trotoart adalah kepergian Victor Latupeirissa. Dalang panggung Trotoart dan api yang menyala di belakang empat belas volume pertunjukan jalanan itu meninggalkan kita semua pada Oktober 2019. Kegigihan dan keras kepala yang dimiliki Victor untuk terus menyiram bensin bagi keberlangsungan panggung Trotoart sama sekali tidak bisa dilihat hanya sebagai semangat biasa. Victor berjalan dengan visi, ia ingin melihat kota Ambon punya panggung pertunjukan. Ia ingin setiap musisi di kota ini dapat memamerkan karyanya dan suatu hari nanti dapat penghidupan dari pekerjaan sebagai musisi.
18 Januari 2025 adalah batu penjuru yang baru. Setelah delapan tahun, panggung Trotoart lahir kembali. Kali ini dengan semangat baru, ia menjadi wangi hujan bagi perjalanan awal tahun. Rian Tuanakotta, Pierre Ajawaila, Jandri Welson Pattinama adalah tiga punggawa di balik panggung Trotoart volume lima belas. Tentu, panggung Trotoart yang mengusung jargon seni adalah persahabatan ini tidak berjalan tanpa visi. Pierre Ajawaila menjelaskan, “Melihat bahwa panggung musik skala kecil dan menengah selain Trotoart sudah ada, dan merupakan panggung berbayar dengan tiket masuk serta memiliki penggemar yang lumayan banyak. Sebaiknya Trotoart memposisikan diri sebagai panggung yang berfungsi untuk menemukan bakat-bakat baru, baik dari musik maupun seni lainnya seperti sastra, rupa, teater, tari, dan lain-lain, sehingga bisa saling mendukung dengan panggung yang sudah ada.”
“Diharapkan Trotoart setia dengan visi awalnya yaitu memberikan panggung untuk seniman-seniman di kota Ambon dan diharapkan dapat menjadi panggung kolaborasi seluruh komunitas seni di kota ini,” Papar Rian. Sementara Willie menambahkan, “Untuk membangkitkan kembali semangat yang sudah padam. Sayang juga kalau panggung yang sudah digelar sebanyak empat belas volume itu harus berhenti begitu saja. Saya sendiri sangat gembira ketika panggung Trotoart volume lima belas berjalan dengan baik. Ini kali pertama panggung Trotoart mendapat sponsor. Dan M Artwear dan Bahasa Basudara bersedia mendukung. Selain itu menarik juga memperhatikan panggung Trotoart yang diadakan di era media sosial, sehingga partisipasi audiens dari dunia maya dapat menghadiri acara yang sudah lama vakum ini.”
Panggung Trotoart volume lima belas berjalan mulus. Beberapa penonton lama malah berkomentar, panggung kali ini sangat teratur — bahkan terlalu rapi untuk sebuah panggung Trotoart. Ketika memasuki gerbang Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Maluku, kita akan menemukan sebuah instalasi seni yang dibikin oleh Alvin Talabessy. Ia menyusun serangkaian batu-batu menjadi sebuah simbol dan menyelipkan beberapa salawaku di antaranya. Batu-batu yang dipilihnya turut menyiratkan makna, sebuah peringatan untuk tidak menggunakan batu-batu untuk baku lempar dan merusak, melainkan untuk membangun keindahan.
Pada malam itu nama-nama band seperti Zout en Licht, satu pendatang baru yang berasal dari angkatan muda gereja turut turun lapangan dan meramaikan panggung Trotoart. Given, satu band beraliran britpop dengan satu single ‘Run or Hide’ yang sudah dapat disaksikan di Youtube juga turut menyumbang beberapa lagu. Angel in Merry, band rock alternative membawakan lagu yang mereka ciptakan sendiri bertajuk ‘God Don’t You Leave Me’ di atas panggung. Sementara Ikanasar sebagai band rocknroll yang sudah menemani panggung Trotoart sejak volume pertama, berhasil menghantam panggung dengan tiga lagu, termasuk membawakan lagu ‘Ambon Manise’ yang menjadi penutup paling mujarab bagi seluruh penonton untuk melompat dan bernyanyi bersama. Toma Homie, satu kelompok rap juga berhasil memecah panggung Trotoart dengan lagu-lagu mereka. Grizzly Cluive membawakan genre yang ia namakan disko rap, dengan energi tahun 80-an yang kuat di lagu-lagunya, selalu menjadi andalan untuk bergoyang dan merasakan rileks sebelum menutup panggung Trotoart.
Di sela-sela pertunjukan musik, penonton juga dihibur dengan kelompok beatbox, kelompok dance, lawakan tunggal yang disampaikan oleh Jhon Laratmase dan Vild Maswekan, serta pembacaan puisi oleh Weslly Johannes dan Eko Saputra Poceratu. Kurang lebih 250 orang berkumpul, merapat, bergoyang, dan merengkuh makna di sekitar panggung Trotoart untuk merayakan kembalinya sang legenda. Bagaikan ritual yang sudah lama dirindukan, rasanya malam minggu itu semua hati terasa utuh dan penuh.
Di kota ini, seni adalah harapan. Paling tidak jika perubahan belum tentu datang melalui sistem pemerintahan, kita dapat berharap pada seni untuk mengubah orang. Untuk itulah keberadaan ruang atas nama seni seperti: panggung pertunjukan musik, ruang pameran seni rupa, pentas teater, hingga ruang-ruang kolaboratif untuk mengadakan pelatihan membuat hal-hal kreatif mestinya berhamburan di kota ini. Girang sekali, ketika kini panggung Trotoart menjadi satu jangkar bagi ruang kesenian lainnya di kota Ambon.
Panggung-panggung lain seperti Rabu Rabu Market, HandToHand oleh Kacoa Tarbang, Rempah Gunung, dan Jazirah adalah jangkar-jangkar lainnya yang mulai tersebar di seluruh kota Ambon. Rasanya memang lebih baik kota Ambon lebih ramai dengan kegiatan seni, lantas apa yang menjadi dampak bila di kota ini kesenian semakin ramai? “Saya pikir dampak paling utama adalah terbentuknya ekosistem budaya dan ekonomi kreatif yang menjamin keberlangsungan kekaryaan pekerja seni baik di depan maupun di belakang layar. Seniman dapat membuat karya dan mendapatkan penghasilan yang layak sehingga dapat menjamin kehidupannya dan proses berkeseniannya,” Ujar Pierre.
Keberlangsungan industri kreatif di kota Ambon memang masih di dalam proses bertumbuh memasuki sebuah jalan panjang, dan semua orang baru saja memulai satu dua langkah kecil. Namun, dengan semakin banyaknya gerilya panggung pertunjukan dan panggung kreatif yang dilakukan oleh kawan-kawan komunitas, semoga perayaan seni di kota ini semakin ramai, seperti yang dikatakan oleh Willie, “sebuah kota yang ramai dengan seni jauh lebih baik dari sebuah kota yang sepi.” Sampai di sini, bila kita masih bertanya-tanya, apa dampak seni bagi diri kita, paling tidak seni dapat menghibur setiap jiwa yang sepi.